KESENIAN SIDOARJO
Posted by Unknown on 08.26 with No comments
Dalam perspektif interaksi sosio-ekonomi dan kultural antara Surabaya dan kota sekitarnya inilah maka perkembangan kesenian di Kabupaten Sidoarjo banyak dipengaruhi oleh Surabaya. Unsur budaya Arek, seperti budaya Mataraman dan komunitas Nahdliyin, merupakan 2 unsur terbesar dalam masyarakat Sidoarjo. Pengaruh budaya Islam di Sidoarjo nampak dari banyaknya masyarakat Islam Nahdliyin yang pada akhirnya melahirkan seni Samroh, Dibaan, Terbangan, Yasinan, dan Hadrah. Sedangkan pengaruh Mataraman nampak dari seni wayang kulit. Di Sidoarjo juga terdapat ludruk, seperti di Surabaya, Mojokerto, dan Jombang. Namun Sidoarjo juga dipengaruhi oleh budaya pesisiran, yang memunculkan ekspresi kesenian tersendiri di kawasan timur.
Kesenian tradisional Sidoarjo jenisnya hampir sama dengan kesenian tradisional Surabaya seperti ludruk, ketoprak, hadrah, wayang kulit, dan sebagainya. Hanya saja frekuensi aktivitas dan jenis kesenian tradisional Surabaya lebih banyak daripada Sidoarjo. Banyak kesenian tradisional Sidoarjo dimainkan (ditanggap) di Surabaya. Begitu pula sebaliknya kesenian tradisional Surabaya pernah main di Sidoarjo. Kesenian tradisional itu biasanya main di tempat orang hajatan, bagian dari acara hiburan dalam rangka memperingati hari nasional atau hari kota/kabupaten, untuk kepentingan komersial seperti main di lapangan berhari-hari, main di gedung kesenian seperti THR (Taman Hiburan Rakyat) di Surabaya, dan sangat sedikit frekuensinya yang bermain untuk acara apresiasi seni.
Kesenian tradisional itu biasanya diturunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya tanpa perubahan yang berarti. Karena itu jenis dan pola kesenian tradisional dari waktu ke waktu cenderung tidak berubah. Faktor statis inilah yang menyebabkan kesenian tradisional dalam pola perkembangannya sesuai dengan pola budaya kewilayahan. Secara kultural, kewilayahan kesenian tradisional Sidoarjo bagian besar dari budaya Mataraman yang menyebar dari Ngawi, Kediri, Madiun, Nganjuk, Mojokerto, hingga Sidoarjo. Kesenian tradisional Sidoarjo secara kultural banyak dipengaruhi budaya Mataraman sedangkan secara kewilayahan juga dipengaruhi budaya Arek.
Sedangkan kesenian modern Sidoarjo berkembang menyerupai perkembangan kesenian modern Surabaya. Banyak seniman modern yang studi di beberapa perguruan tinggi di Surabaya dan Jogjakarta. Pelukis Hening Purnamawati, Rilantono, Nonot Sukrasmono, Sinarto, Amdo Brada, R. Giryadi, Farid Syamlan, Nasar Bathati dan Chusnul Hadi, adalah sebagian dari seniman-seniman yang berdomisili di Sidoarjo namun lebih banyak aktif di Surabaya. Banyak juga seniman yang berkembang secara otodidak dan memperoleh pengetahuan dari pergaulan dengan seniman senior meskipun sebenarnya lulus dari fakultas bukan kesenian, utamanya para sastrawan. Mereka adalah Suharmono Kasiyun, almarhum Max Arifin pernah tinggal di Sidoarjo yang akhirnya meninggal di Mojokerto.
Seniman modern Sidoarjo juga banyak yang berkembang lewat studi di sanggar atau kelompok seni dari Surabaya. Biasanya model seniman ini berkembang pesat dari pengaruh pergaulan dengan berbagai seniman nasional dan intensif dalam pameran lukisan. Misalnya saja, pelukis seperti Wadji MS, Beni Dewo, dan Bambang Hariadji (alias Bambang Telo). Sementara penulis sastra (puisi) Roesdi Zaki adalah anggota senior Bengkel Muda Surabaya merupakan penulis sastra yang cukup produktif.
Akibat perkembangan kota Sidoarjo yang sedemikian pesat, banyak dibangun kompleks-kompleks perumahan baru. Hal ini banyak mengundang para pendatang dari Surabaya yang yang kemudian menjadi penduduk Sidoarjo namun aktivitasnya tetap di Surabaya. Tidak terkecuali kalangan seniman. Sehingga, banyak seniman Sidoarjo lebih aktif berkesenian di Surabaya daripada di kotanya sendiri. Mereka hanya bertempat tinggal di Sidoarjo. Karena itu aktivitas kesenian modern di Sidoarjo relatif lebih sedikit daripada Surabaya. Bahkan Dewan Kesenian Sidoarjo secara formal baru dibentuk pada tahun 1994, sementara Dewan Kesenian Surabaya telah berdiri sejak tahun 1971.
Tetapi keberadaan seniman-seniman yang hanya “numpang KTP” di Sidoarjo itu tidak perlu disikapi secara sinis. Tuntutan pekerjaan memang mengharuskan mereka lebih banyak aktif di Surabaya, disamping iklim berkesenian di Surabaya memang lebih kondusif dibanding Sidoarjo. Lagi pula, Surabaya tidak bisa semata-mata hanya dipandang sebagai luar kotanya Sidoarjo, tetapi Surabaya adalah ibukota propinsi Jawa Timur. Justru Sidoarjo harus bangga karena banyak senimannya yang berkiprah di tingkat propinsi, termasuk tingkat nasional di Jakarta dan internasional kalau ada, dan bukan malah menjadikan mereka sebagai jago kandang yang hanya sibuk di kotanya sendiri saja.
Dan kalau mau menelusur agak ke belakang, Sidoarjo pernah punya penyanyi terkenal, namanya Arie Kusmiran. Pelawak Doyok Sudarmaji itu juga asalnya dari Porong, juga Basman (alm) dan Agus Kuprit serta Munali Patah (alm).
Jenis-jenis kesenian yang ada di wilayah kab. Sidoarjo
1. Ludruk
Seni pertunjukan rakyat ini tidak memiliki kekhasan di Sidoarjo. Pernah suatu masa berjaya namun belakangan semakin punah. Padahal Sidoarjo memiliki tokoh ludruk terkenal, Munali Fatah (alm), yang juga dikenal sebagai maestro tari Remo. Menurut catatan setidaknya ada 40 grup ludruk di Sidoarjo namun hampir semua tidak ada yang betul-betul eksis. Banyak terdapat di Balungbendo disamping juga menyebar di wilayah Krian, Tulangan, Sukodono, Prambon dan hampir semua kecamatan, kecuali Jabon. Sebelum 1980-an grup ludruk di Sidoarjo, Mojokerto, Surabaya, dan kota-kota lain di Jawa Timur sangat banyak. Sebab, masyarakat sangat haus hiburan murah, lucu, dan merakyat. Tiap malam hampir pasti ada tanggapan. Mereka serba bisa: nembang, main karawitan, melawak,hingga terlibat di manajemen ludruk. Namun belakangan kondisinya bagaikan mati suri.
2. Wayang Kulit
Jenis wayang kulit yang ada di Sidoarjo sebagian besar adalah wayang kulit gaya Jawa Timuran (gaya Wetanan) dan sebagian kecil gaya Kulonan. Hampir semua kecamatan memiliki dalang wayang kulit Wetanan ini, diantaranya: Tarik, Balungbendo, Krian, Prambon, Porong, Tulangan, Sukodono, Candi, Sidoarjo, Gedangan dan Waru.
Gaya Wetanan ini dapat dibagi lagi dalam penggolongan pecantrikan, yaitu:
a. Ki Soewoto Ghozali (alm) dari Reno Kenongo, Porong
b. Ki Soetomo (alm), dari Waru
c. Ki Suleman (alm), Karangbangkal, Gempol
Dalang wayang gaya Wetanan memiliki penggemar yang fanatik, mereka seperti memiliki wilayah penonton sendiri-sendiri. Jika di suatu daerah seorang dalang laris ditanggap misalnya maka belum tentu akan diminta mendalang di daerah lain. Beda dengan dalang gaya Kulonan yang tidak tergantung dimana mereka mengadakan pergelaran. Bedanya lagi, frekuensi pentas dalang Wetanan di Sidoarjo terhitung sangat tinggi, meski honornya tidak seberapa. Dalam setahun bisa mencapai 80 kali pentas, kecuali bulan Ramadhan, yang berarti seminggu bisa 3-4 kali.
Wayang kulit gaya Wetanan memiliki antawacana (bahasa penyampaian) yang berbeda dengan gaya Kulonan. Bahasanya cenderung merakyat, sesuai dengan kultur budaya Arek di Surabaya dan juga Sidoarjo. Meski juga mengambil sumber cerita Ramayana dan Mahabarata, namun banyak yang tidak dikenali dalam lakon gaya Kulonan.
Dari segi musik, instrumennya menggunakan gamelan slendro, mirip yang digunakan dalam ludruk. Berbeda dengan gaya Kulonan yang menggunakan gamelan slendro dan sekaligus pelog. Namun kemudian wayang gaya Wetanan juga menggunakan gamelan pelog, terutama untuk mengiringi adegan-adegan tertentu.
Mengikuti selera konsumen, pergelaran wayang kulitpun akhirnya dilengkapi dengan campursari bahkan juga musik dangdut. Malah sudah sejak lama wayang Wetanan disertai pembuka tarian Remo segala, dimana pengunjung diminta memberikan saweran yang dulu diselipkan ke dada.
Keberadaan wayang kulit di Sidoarjo semakin menurun karena tidak ada kaderisasi. Hanya ada satu dalang cilik, anak Subiyantoro yang juga dalang. Juga tidak ada lembaga formal atau nonformal yang mengajarkan wayang gaya Wetanan secara utuh, bukan hanya disentuh saja. Belum lagi keterbatasan naskah yang siap dipentaskan. Hanya ada 1-2 dalang saja yang menulis naskah, diantaranya Surwedi.
3. Wayang Potehi
Kesenian ini memang khas budaya China, keberadaannya melekat dengan klenteng atau rumah ibadah Tionghoa. Di Sidoarjo ada di klenteng Tjong Hok Kiong di Jalan Hang Tuah, di kawasan Pasar Ikan. Fuk Hou An adalah grup wayang potehi yang sangat kondang di Jawa Timur pada 1950-an hingga 1960-an dengan dalang Tuk Hong Ki (almarhum, asal Jombang). Grup ini kemudian bangkit kembali dengan dalang Subur dengan bapak angkat Tony, anak kandung Tuk Hong Ki. Saat ini Subur diperkuat empat pemain pembantu, sekaligus pemusik, yakni Sugiyono (Surabaya), Mulyanto (Surabaya), Karli (Blitar), dan Alfian (Sidoarjo). Nama terakhir ini, Alfian (18 tahun) tak lain anak kandung Subur.
Di Sidoarjo, wayang potehi hanya digelar saat perayaan hari jadi Makco Thian Siang Seng Bo di Kelenteng Tjong Hok Kiong, Jalan Hang Tuah Sidoarjo. Acara tahunan ini juga diisi dengan hiburan rakyat untuk warga sekitar kelenteng. Untuk memeriahkan HUT Makco, Subur biasanya menggelar pertunjukkan wayang potehi selama satu bulan penuh di kompleks kelenteng. Wayang potehi di Sidoarjo merupakan bagian dari ritual umat Tridharma ketimbang hiburan biasa. Karena itu, jarang sekali orang luar yang menikmati kesenian langka ini. Padahal, unsur hiburan dan intrik di wayang potehi justru lebih banyak daripada wayang kulit.
4. Wayang Dakwah
Seperti Wayang Kulit biasa namun ditampilkan dengan posisi dalang berada di belakang layar menghadap ke arah penonton. Ada jendela kotak yang memperlihatkan wayang kulit dijajar. Penampilan seperti ini mengingatkan wayang Potehi atau Wayang Krucil, dengan bentuk wayang yang berbeda. Sesuai dengan namanya lakon-lakon yang dimainkan berisi dakwah, khususnya agama Islam. Pernah ditemukan di kawasan Krian dipimpin Kyai Fadhil, dari Gresikan.
Sebetulnya Wayang Dakwah belum bisa digolongkan sebagai jenis kesenian tersendiri, tetapi penampilannya lebih merupakan sarana dakwah dengan menggunakan media wayang. Artinya, lebih banyak muatan dakwahnya ketimbang pertunjukan wayangnya sendiri. Tetapi kalau mau dikembangkan menjadi jenis wayang tersendiri tentu akan menarik. Kenapa tidak?
5. Reyog Ponorogo
Asalnya memang dari Ponorogo namun tersebar ke berbagai wilayah, termasuk Sidoarjo. Selama ini diketahui hanya ada 2 (dua) kelompok seni Reyog Ponorogo, yaitu ada di Krian dan Sawotratap (Gedangan).
6. Reyog Cemandi
Meski namanya Reyog, tidak ada dhadhak merak sebagaimana halnya Reyog Ponorogo. Penampilannya lebih mirip Reyog Bulkiyo (Blitar) dan Reyog Kendang (Tulungagung). Reyog yang hanya ada di desa Cemandi, Kec. Sedati ini merupakan sebuah kelompok musik perkusi berupa jimbe (kendang satu muka). Jumlah pemain sebanyak delapan orang laki-laki semua, dua diantaranya topeng laki-laki dan perempuan. Pemain bertopeng lelaki ini membawa properti celurit yang dibawakan sambil menari.
Biasanya, sajian musik ini dibawakan ketika ada upacara tradisional seperti Bersih Desa.
Dibandingkan dengan Reyog Kendang, irama musik Reyog Cemandi lebih monoton sehingga justru cenderung menghadirkan suasana magis. Dalam hal ini Reyog Cemandi agak mirip dengan Dongkrek dari Madiun.
7. Patrol
Memang bukan kesenian khas Sidoarjo, tetapi nampaknya Sidoarjo ingin merawatnya dengan baik sehingga menjadi salah satu kesenian yang turut mewarnai identitas budaya Kabupaten Sidoarjo. Kesenian ini pada mulanya hanya menjadi permainan selingan saat bulan puasa yang menggunakan potongan bambu sebagai instrumen perkusi. Biasanya dimainkan sambil keliling kampung untuk membangunkan waktu sahur. Penyelenggaraan Festival Patrol setiap tahun di Sidoarjo adalah suatu upaya untuk melestarian tradisi ini, mengangkatnya ke ranah kesenian dan menjadikan sebagai salah satu ciri kesenian yang ada di Sidoarjo. Bukan hanya pemerintah namun pihak swasta juga menyelenggarakan festival patrol sendiri.
8. Jaran Kepang
Kelompok seni tradisi jaranan hampir punah di Kabupaten Sidoarjo, tak sampai hitungan jari sebelah tangan. Sebelum 1980-an, cukup banyak grup jaranan yang menggelar atraksi hiburan di kampung-kampung. Kelompok-kelompok seni Jaranan atau Jaran Kepang yang selama ini ada di Sidoarjo bisa dikatakan bukan asli atau berdomisili di Sidoarjo. Mereka berasal dari luar kota, seperti Tulungagung, yang sengaja ngamen di Sidoarjo dalam waktu beberapa lama. Diperkirakan ada sekitar 10 grup. Namun ada satu grup Jaran Kepang versi Sidoarjo, yang agak berbeda dengan Jaran Kepang pada umumnya. Yakni, ketika dalam masa trance, pemainnya memanjat pohon kelapa dengan kepala menghadap ke bawah. Grup ini hanya ada di desa Segorobancang, kec. Tarik.
9. Band
Jenis kesenian ini biasanya disukai anak-anak muda, khususnya siswa sekolah. Tidak ada grup musik yang dikenal, kecuali yang tampil atas nama sekolah masing-masing. Band yang selama ini ada hanya membawakan lagu-lagu pop.
10. Orkes Melayu
Kesenian ini berkembang pesat di Sidoarjo, puluhan grup Orkes Melayu bertumbuhan, sehingga kemudian membentuk wadah organisasi tersendiri. Tokoh terkait dengan Orkes Melayu di Sidoarjo dapat disebut antara lain Malik BZ, tokoh kawakan yang banyak melahirkan seniman orkes Melayu di kancah nasional.
11. Musik Keroncong
Hanya ada 2 (dua) grup, salah satunya merupakan bagian kegiatan ekstra pegawai Pemkab Sidoarjo. Satunya lagi dimotori oleh Djoko Supriyadi. Selama ini memang tidak ada grup kroncong yang permanen. Hanya ada sesekali kegiatan pergelaran secara insidental. Komunitas penggemar keroncong juga jarang, itupun lebih banyak berkiprah di kota Surabaya. Namun dua grup inipun tidak bisa permanen.
Bisa dikatakan banyak yang suka musik keroncong di Sidoarjo, namun tidak stabil, karena tidak ada semacam habitat yang menjaganya tetap dapat tumbuh kembang. Tidak ada komunitas dan ruang apresiasi yang mendukungnya. Salah satu tokoh keroncong bisa disebut Ngadimin, dari desa Slautan, Sidoarjo.
12. Musik Islami
Disebut Musik Islami karena memiliki visi yang sama yaitu berdakwah atau menyebarkan nilai-nilai Islami. Meski namanya beda, namun banyak kemiripan satu sama lain. Kesamaannya adalah menggunakan instrumen rebana (terbang) yang ditabuh dengan ritme tertentu, sehingga ada yang menyebut Terbangan. Namun dari kesamaan ini kemudian ada beberapa varian, yang memiliki perbedaan satu sama lain, sehingga namanya pun berbeda.
Di Sidoarjo, jenis-jenis kesenian yang disebut di bawah ini memang tidak ada satu gruppun yang secara khusus memainkannya. Namun hanya Malbias, nama grup musik, yang mengaku sanggup memainkan Musik Islami apa saja, sesuai permintaan.
12.1. Hadrah atau Hadrah al Banjari: Ciri khasnya antara lain, syairnya dimaksudkan untuk memuliakan Rasulullah Muhammad SAW, yaitu salawat Nabi dan berbahasa Arab. Alat musik berupa rebana berbagai ukuran dan jidor. Dalam perkembangannya ada grup yang menambah dengan instrumen modern berupa bass guitar, kibor, tamborin dan lainnya. Ada juga yang mengkolaborasikan dengan gamelan Jawa. Perpaduan seni vokal, musik dan sastra Arab. Para penyanyinya semua laki-laki. Habitatnya adalah masyarakat tradisi berbasis NU.
12.2. Kasidah atau Samroh: Syair-syairnya bisa berbahasa Arab atau Indonesia dan lebih banyak berisi pesan-pesan moral dan kebajikan Islami. Lagunya bebas, hanya dinyanyikan kaum perempuan. Kasidah sendiri sebenarnya ada dua jenis, yaitu kasidah rebana atau samroh dan kasidah alternatif atau kasidah modern. Yang membedakan antara dua jenis kasidah itu adalah penggunaan alat musik yang dimainkan. Kasidah modern menggunakan tambahan alat musik elektrik yang lebih modern, seperti keyboard, gitar, dan bas. Selain itu, penyanyi kasidah modern bisa campuran antara laki-laki dan perempuan. Dalam perkembangannya ada yang menambahkan instrumen lain berupa gamelan sehingga namanya menjadi Kasidah Kontemporer. Pernah ada festival Kasidah Modern, diikuti sekitar 10 grup, yang tersebar di wilayah antara lain desa Gedangrowo (Kec. Prambon), grup Kyai Kanjeng di Tarik.
12.3. Terbang Jidor, karena menggunakan terbang, dimainkan beberapa orang, sebagian menggunakan terbang ukuran besar yang dinamai Jidor, berfungsi seperti gong dalam gamelan.
12.3. Nasyid. Bentuk seni suara Islami yang berkembang dari akulturasi dengan budaya Melayu, dinyanyikan tanpa iringan alat musik sama sekali alias akapela.
12.4. Gambus, sebenarnya nama alat musik petik seperti mandolin yang berasal dari Timur Tengah. Paling sedikit gambus dipasangi 3 senar sampai paling banyak 12 senar. Gambus dimainkan sambil diiringi gendang. Sebuah orkes memakai alat musik utama berupa gambus dinamakan orkes gambus atau disebut gambus saja. Di TVRI dan RRI, orkes gambus pernah membawakan acara irama padang pasir. Orkes gambus mengiringi tari Zapin yang seluruhnya dibawakan pria untuk tari pergaulan. Lagu yang dibawakan berirama Timur Tengah. Sedangkan tema liriknya adalah keagamaan. Alat musiknya terdiri dari biola, gendang, tabla dan seruling. Kini, orkes gambus menjadi milik orang Betawi dan banyak diundang di pesta sunatan dan perkawinan. Lirik lagunya berbahasa Arab, isinya bisa doa atau shalawat. Perintis orkes gambus adalah Syech Albar, bapaknya Ahmad Albar, dan yang terkenal orkes gambus El-Surayya dari kota Medan pimpinan Ahmad Baqi.
13. Kentrung
Seni sastra tutur yang dimainkan dengan iringan musik sederhana. Tidak ada kelompok musik kentrung permanen kecuali yang dikelola Joko Lelono dan Subiyantoro yang memodifikasi menjadi Kentrung Kontemporer.
14. Kolintang
Meski kesenian ini bukan berasal dan bukan asli Sidoarjo namun banyak terdapat di sekolah-sekolah, selain juga ada di internal Pabrik Gula. Grup kolintang yang terkenal antara lain dari SMP PGRI 1 Buduran.
15. Tari
Tidak ada tarian yang betul-betul khas Sidoarjo. Meski Munali Patah (alm) pernah menyodorkan tarian khas, yaitu: Tari Tjokronegoro. Namun seni tari di kota ini berkembang sebagaimana kota-kota lain yaitu banyaknya sanggar belajar menari. Meski tidak sebanyak Surabaya misalnya, namun rutinitas latihan tari dari sanggar-sanggar itu, yang kemudian mementaskannya secara rutin, dapat membuat denyut kehidupan tari di Sidoarjo masih dapat terasakan.
Tarian yang berkembang adalah tari tradisi pada umumnya, terutama Jawa Timur, yang diajarkan di sanggar-sanggar tersebut. Namun ada juga sanggar tari yang lebih banyak mengajarkan tarian kontemporer karena sudah melewati standar dan sering menjadi pemenang dalam kompetisi tari tingkat regional, nasional, bahkan juga melawat ke luar negeri.
16. Teater
Teater di Sidoarjo masih bisa eksis meski tidak menonjol aktivitasnya. Kebanyakan memang teater modern yang tumbuh berkembang dari komunitas kampus. Sementara teater sekolah tergantung pelatihnya dan juga event yang diselenggarakan untuk itu. Ketika ada festival misalnya, tahu-tahu banyak muncul grup teater dari sekolah-sekolah.
17. Karawitan
Kesenian musik yang menggunakan seperangkat gamelan ini memang pengaruh budaya Mataraman. Karawitan masih bertahan karena peranan kantor-kantor pemerintah dan institusi tertentu yang menyediakan seperangkat gamelan untuk latihan rutin, seperti di Dinas Pendidikan dan pendopo kantor Pemkab, dan ada juga di SMP PGRI 1 Buduran. Keberadaan kelompok karawitan biasanya tidak pernah lama, hanya sporadis. Nama grup yang pernah muncul, yaitu Delta Laras dan sebuah grup binaan Gudang Garam.
18. Campursari
Seperti namanya, kesenian ini merupakan paduan berbagai instrumen, sajian lagu, bahkan sajian pertunjukan apapun menjadi sah adanya. Yang penting bisa menghibur penonton. Di Sidoarjo, keberadaan kelompok campursari sulit dipetakan, lantaran mudah berdiri namun setelah itu tak terdengar kabarnya lagi. Pernah suatu masa campursari berjaya, banyak grup bermunculan, namun belakangan keberadaannya menjadi satu dengan pergelaran wayang kulit. Tidak jarang seorang dalang adalah juga pemimpin atau setidaknya berkolaborasi dengan grup campursari.
Kelompok campursari Madu Mulyo misalnya, melekat dengan keberadaan dalang Bambang Sugiyo. Dalang Soeparno dengan grupnya Kridha Laras. Demikian juga dalang Surwedi juga memiliki kelompok campursari. Sementara kelompok Putra Delta, nampaknya berdiri sendiri, meski kemudian aktivitasnya jarang terdengar.
19. Macapatan
Macapatan adalah sebuah seni tradisi lisan, yang membawakan puisi bahasa Jawa (macapat) dengan cara pembacaan yang khas. Kelompok penggemar macapatan adalah masyarakat yang secara budaya terpengaruh oleh Mataraman. Banyak terdapat di berbagai wilayah, namun aktivitasnya sulit dipantau, terutama karena siaran langsung di Radio Siaran Pemerintah Kabupaten (RSPK) Sidoarjo ditiadakan. Hampir tidak ada kelompok yang permanen dan mereka lebih suka beraktivitas di luar Sidoarjo, seperti Mojokerto yang memiliki nuansa Mataraman atau di Surabaya yang masih memberi ruang kepada budaya Mataraman. Lebih-lebih karena di Surabaya masih ada radio siaran yang memberikan kesempatan kelompok macapatan menunjukkan eksistensinya.
20. Ujung
Di daerah lain disebut Seni Tiban. Berupa pertunjukan dua lelaki atau dua kelompok lelaki bertelanjang dada, saling mencambuk dengan rotan secara bergantian. Dapat digolongkan seni pertunjukan karena memang ditampilkan sebagai tontonan. Kadang dimainkan di atas panggung namun masih ada juga yang menggunakan lapangan terbuka. Di berbagai daerah, Ujung merupakan ritual untuk mendatangkan hujan, namun Ujung Sidoarjo memiliki latar belakang sejarah sebagai peninggalan masa kerajaan Majapahit, dimana penduduk disiapkan melatih kanuragan melawan musuh. Kelompok Seni Ujung terdapat di kecamatan Tarik.
21. Wayang Suket
Wayang suket terbuat dari jerami (dan sebangsa rumput-rumputan), yang bukan hanya sebatas mainan anak desa sebagaimana asal mulanya, tetapi di tangan M. Thalib Prasojo sudah menjadi karya seni rupa yang orisinal dan hanya ada di Sidoarjo. Dalam perkembangannya bahan wayang sudah merambah ke daun lontar, sehingga menjadi wayang tiga dimensi. Bahkan kreativitas berkembang menjadi seni pertunjukan berupa pergelaran wayang suket yang dimainkan oleh dalang secara serius. Sayang seribu sayang, belum sempat berkembang luas, M. Thalib Prasojo meninggal dunia 4 Agustus 2010, menjelang tengah malam.
22. Upacara Adat
Bisa juga dikelompokkan kesenian karena memang banyak yang sudah dikemas sebagai pertunjukan untuk umum. Diantaranya, Nyadran (ada dua macam), Temu Manten Lara Pangkon, Mitoni, dan Keleman (upacara tutup tanam).
0 komentar:
Posting Komentar